Jumat, 28 Maret 2014

ini kenapa pendek banget sih ini review apa review sih astaga :3


Robohnya Surau Kami
Kumpulan Cerpen / A.A Navis
PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, Cetakan kedelapan belas; April 2012
  
Barangkali saya sudah menyukai cerpen A.A Navis bahkan sebelum saya sadar bahwa saya suka membaca. Beberapa cerpen di kumcer Robohnya Surau Kami membuat saya merasa dejavu; rasanya pernah baca, rasanya sebentar lagi ceritanya akan begini, kenapa saya baru sadar cerpen ini keren sekali padahal kan ini cerpen lama dan kenapa saya baru bertemu buku ini di tahun ini oh tapi ya tidak masalah juga sih oh men oh my gwen!

Ada sepuluh cerpen di buku ini. Saya menyukai sembilan. Yang satu tidak saya sukai karena saya kira itu bukan cerpen. Mungkin itu cerpen, tapi saya tidak mengerti, jadi saya suka yang sembilan lainnya saja.

A.A Navis mampu memberi efek mewah pada cerita-cerita sederhana. Cara ia berdeskripsi anggun sekali. Tidak terlalu sempit, tidak juga terlalu melebar. Ia menjelaskan dengan baik kondisi kereta terguling dengan korban-korban berimpitan. Suara desau angin dan riak air. Kekesalan seorang istri (yang sebetulnya manja dan menyebalkan). Kekecewaan seorang tukang rem lok kereta api. Dan lain-lain. Dan lain-lain.

AH. Harusnya buku ini tinggal di rak buku saya saja. Tidak usah dikembalikan. *HEH*

Reporter and The City


Reporter and The City
Noni Wibisono
Nonfiksi
Jakarta: GagasMedia, 2009
220 hlm; 13 x 19 cm

Ini kumpulan pengalaman seorang Noni; reporter berita di Trans TV.

Setelah membaca buku ini, saya baru sadar bahwa Noni Wibisono tidak pernah menceritakan apapun soal rapat redaksi. Apakah di program berita televisi, rapat redaksi memang tak perlu diikuti oleh para reporter dan cameramen? Karena yang sering diceritakan Noni, begitu sampai di kantor, hal yang pertama dilakukannya adalah melihat papan proyeksi. Salah satu jadwal proyeksi yang dicontohkan Noni adalah seperti ini;

Reporter              : Noni
Cameramen        : Rully Novian
Proyeksi         : Keliling hotel berbintang. Cek apakah ada peningkatan sistem keamanan. Dua hari lagi, kan, 11 September, siapa tau hotel-hotel ini pada parno takut kejadian kayak di WTC Amerika.

Setelah itu berangkatlah Noni dan Rully ke hotel-hotel berbintang. Kalau saya tengarai, selalu begitu urutannya. Tiba di kantor à lihat papan proyeksi à berangkat liputan.

Yang menarik memang cerita-cerita seru yang dialami Noni ketika liputan. Kejadian tak terduga yang lucu yang aneh yang mendebarkan yang konyol dan lain-lainnya dipadukan dengan porsi pas. Saya suka. Dengan gaya bahasa ngepop yang sama sekali tidak resmi (bahkan Noni sering menyelipkan smiley), saya tetap bisa memahami kepanikan, ketakutan, keberanian, kekesalan, dan semua-mua yang dialami Noni.

Di bagian pembuka, dengan jujur Noni menulis;

"Cobalah berpikir positif; optimis di luar sana pasti ada yang memiliki kualitas seperti kriteria idealnya reporter berita—bahkan, mungkin, syukur-syukur, bisa lebih! Tapi, bukan berarti wartawan berita yang di bawah standar lantas diaminkan nggak ada lho."

Noni memang punya karakter unik. Dari cara karakter dan kebiasaannya digambarkan, ia terkesan jauh sekali dari berwibawa. Ia pesolek, manja, dan lebay. Tapi saya kagum pada alangkah gigihnya ia ketika menghadapi dengan situasi-situasi sulit. Ia tidak banyak berkoar soal idealisme, tapi saya pikir, ia sangat mengerti bagaimana bersikap idealis. Ia mengutamakan kepentingan orang lain dibanding kepentingan pribadi. Ia tangguh. Ia sangat berdedikasi.

Mmmm. Apa lagi, ya?

Uwes, paling.

Minggu, 09 Maret 2014

Catatan (yang berantakan dan sama sekali tak memadai) tentang; Max Havelaar

Max Havelaar;
Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda
Penulis : Multatuli
Penerbit Djambatan
Tahun 1972
Terdjemahan H.B Jassin

"Pertjajalah, berhenti sama dengan maut." —Havelaar

Begitu berhasil membaca buku ini sampai halaman akhir, saya ingin sekali kembali ke halaman pertama dan membaca ulang namun lebih pelan-pelan. Sayangnya masa pinjam saya untuk buku ini hanya seminggu, dan itu bukan waktu yang cukup untuk membaca dua kali, apalagi secara pelan-pelan.

Ah. Saya jadi tidak tahu apa yang harus dituliskan.

Mungkin, adalah tindakan yang membodoh-bodohkan diri sendiri saja bila saya pada akhirnya tetap mencoba menulis sedikit ulasan soal Max Havelaar, Si Sjaalman, sang asisten residen yang hanya beberapa bulan menjabat namun harus diberhentikan akibat kebaikan hatinya yang keterlaluan. Tapi toh akan tetap saya tuliskan. Soalnya, eman-eman. :3

Ada tiga sudut pandang di buku ini. Multatuli sengaja membuat buku ini seolah-olah ditulis oleh tiga orang berbeda secara bergantian. Orang pertama adalah Droogstoppel; warga Belanda, seorang makelar kopi, yang sangat menjunjung tinggi martabatnya sendiri dan tampil dengan sangat sok sutji. Orang kedua adalah Stern; pemuda Jerman. Sementara orang ketika adalah Multatuli sendiri, yang baru akan muncul di bagian akhir.

Alur cerita yang disajikan Multatuli adalah seperti ini;

Pada suatu hari Droogstoppel bertemu dengan seseorang; yang mengenakan syal, yang berpenampilan miskin, yang tidak bisa menjawab ketika ditanya ‘sekarang jam berapa?’, yang di masa lalu ternyata pernah menyelamatkan Droogstoppel ketika ia hendak dihajar seorang Yunani. Seseorang yang oleh Droogstoppel disebut Sjaalman (karena ia mengenakan syal) ini, beberapa hari kemudian mendatanginya untuk meminta bantuan. Sjaalman menyerahkan sebuah bungkusan berisi naskah-naskah, dan melampirkan sebuah surat bahwa ia ingin Droogstoppel mengongkosi penerbitan bukunya.

“Saya yakin, bahwa hasil karya saya akan dapat menutup ongkos-ongkos, dan saya berani memutuskan itu,” katanya di surat.

Droogstoppel bukan orang yang dermawan (Kalau tak mau dibilang pelit dan menyebalkan dan sangat menjijikkan. Ketika pertama kali melihat Sjaalman, ia bahkan berpikir; “Saya tidak suka kepada orang miskin, sebab biasanya kemiskinan itu karena salah sendiri”). Tapi bungkusan yang dikirimkan Sjaalman itu dibuka oleh Frits, dan putra Droogstoppel itu menyukai beberapa sajak yang dibuat oleh Sjaalman. Diam-diam Droogstoppel ikut membongkar bungkusan Sjaalman, dan ia menemukan banyak literatur yang menarik tentang kopi. Ketika itu ia kemudian berpikir untuk membuat sebuah buku, yang katanya akan diberi judul; Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda. Karena tak pandai menulis, ia meminta bantuan pada Stern. Maka demikianlah. Bukunya ditulis secara bergantian.

Bagian yang ditulis Droogstoppel agak terbaca seperti racauan yang tidak bermanfaat. Ia sibuk menceritakan segala hal dan menyombongkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Pada beberapa bab, ia bahkan menyela bagian yang ditulis Stern. Karena katanya, Stern menuliskan kebohongan, dan pemuda itu seharusnya segera bertobat.

Bagian yang dituliskan Stern adalah cerita-cerita tentang Max Havelaar. Pemuda ini rupanya tak menuruti perintah Droogstoppel untuk setia pada judul Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda. Ia malah menuliskan kisah (agak roman), yang bahan-bahannya ia peroleh dari arsip-arsip Sjaalman. Kisah tentang Max Havelaar sejak pertama kali tiba di Lebak, juga ketika Max Havelaar menghadapi persoalan-persoalan pelik yang bertentangan dengan panggilan jiwanya.

Setelah membaca ini, saya baru tahu bahwa rupanya, pada tahun 1850an, di Hindia Belanda terdapat dua jenis pemerintahan; Pemerintahan Belanda (Residen, Asisten Residen, Kontelir) dan Pemerintahan Bumiputera (Bupati, Patih, Demang, Jaksa, dll). Hubungan antara kedua penguasa inilah yang kemudian dirasakan demikian ironis oleh Max Havelaar.

Masyarakat Jawa yang ramah dan pemurah, dimanfaatkan untuk bekerja secara sukarela tanpa diberi upah yang layak oleh petinggi-petinggi, termasuk demang, termasuk bupati. Masyarakat berbondong-bondong mengerjakan sawah yang bukan miliknya sendiri, membajak, menanam, memanen, namun tetap kelaparan karena hasil panen harus diserahkan pada pemerintah. Tak sedikit dari mereka yang harta bendanya dirampas, bahkan kerbau-kerbaunya, bahkan anak gadisnya. Inilah yang dilihat oleh Max Havelaar, yang membuat nuraninya terusik, yang membuatnya geram.

Ia ingin menegakkan keadilan tapi tak ada yang mendukungnya. Orang-orang datang melapor ke rumahnya di malam hari, tapi tak pernah hadir kembali esoknya jika diminta menjadi saksi. Masyarakat yang tertindas ini ketakutan. Pada akhirnya Max Havelaar mengambil keputusan untuk melaporkan penyimpangan yang terjadi pada Gubernur Jendral, dan memberanikan diri untuk mempertanggung jawabkannya sendiri. Sayangnya, yang terjadi malah ia diminta menarik kembali laporannya. Havelaar tetap bersikeras, ujung-ujungnya, ia malah dicap tidak becus menjabat.

Hah. Bahkan Max Havelaar yang sebetulnya waktu itu berkewarganegaraan ‘penjajah’ saja bisa sebegini terusik dan sangat berani membela masyarakat Hindia.

Sejak tokoh ini pertama kali muncul, saya sudah mengagumi cara Stern (atau Multatuli) menggambarkan sifat-sifat Max Havelaar dan istrinya. Bahwa Havelaar, katanya, adalah orang; “yang selalu pertama kali merasakan luka yang ditikamkan oleh kata-katanya yang tajam, dan ia menderita lebih-lebih dari orang yang dilukainya”.

Penggambaran Nyonya Havelaar lebih mengagumkan lagi; “Nyonya Havelaar tidaklah cantik, tapi dalam pandangan dan bicaranya ada sesuatu yang manis sekali.” Lalu di beberapa kalimat selanjutnya dijelaskan kembali; “Saya katakan, bahwa ia tidak cantik, namun saya tidak mau anda mengira ia jelek. Sudah sering dikatakan, bahwa wajah seseorang adalah cermin jiwanya, sehingga orang tidak lagi menghargai potret wajah yang diam, yang tidak mencerminkan sesuatu, karena tidak terpantul jiwa daripadanya. Nah, dia memiliki jiwa yang cantik, dan butalah orang yang tidak juga menganggap wajahnya cantik, jika jiwanya terbayang di dalamnya.”

Saya jarang menyebutkan akhir cerita sebuah buku. Tapi di tulisan ini sepertinya sudah saya sebutkan. Bahkan mungkin lebih dari sekali. Atau biarkan saya menuliskannya secara rinci. Bahwa di lima halaman sebelum terakhir, Multatuli kemudian mengambil alih pena dan menghentikan Stern yang sedang bercerita. Inilah cuplikan kemunculan Multatuli;

***
Havelaar mengembara kian kemari, miskin dan sepi. Ia mencari ...

Cukuplah, Stern yang baik. Aku, Multatuli, mengangkat pena. Anda tidak terpanggil menuliskan sejarah hidup Havelaar. Aku menghidupkan anda. Aku datangkan anda dari Hamburg, aku ajarkan anda bahasa Belanda yang baik, dalam waktu yang singkat sekali. Aku suruh anda mencium Louise Rosemeijer, yang ayahnya berdagang pula. Cukuplah, Stern, anda boleh pulang.

Si Sjaalman itu dan isterinya ...

Stop, hasil celaka nafsu mata duitan yang kotor dan kemunafikan yang menghujah Tuhan! Akulah yang menciptakan anda, anda membesar menjadi makhluk yang dahsyat di bawah penaku, aku jijik dengan bikinanku sendiri, terbenamlah dalam kopi, dan pergilah!
***

Dan Multatuli melanjutkan bukunya sampai halaman terakhir. Di halaman paling belakang, ada bait-bait Liat Lah Badjing, sebuah puisi tentang Saidjah dan Adinda.

Yang menyebalkan ketika saya sudah selesai dan masih saja penasaran ingin membuka-buka halaman awal, adalah ketika saya baru tertarik untuk membaca bab Pendahuluan. Pada bab yang dibuat oleh Drs. G. Termorshuizen itulah saya baru membaca, bahwasanya, Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker. Diceritakan pula bagaimana perjalanan hidup Dekker. Bahwa ia berangkat ke Jawa ketika usianya 18 tahun, bahwa ia pernah menjadi kontelir di Natal, menikah dengan Everdine Huberte van Wijnbergen, dan pada tahun 1856 ia menjadi asisten residen di Lebak!

Sekarang sudah tahun 2014. Hindia Belanda sudah laaama sekali berganti nama jadi Indonesia. Alangkah anunya saya karena baru membaca Multatuli. Baru mengetahui bahwa Max Havelaar, bahwa Si Sjaalman yang keren ini bukan sekadar tokoh karangan Stern atau Droogstoppel semata. Ia ada; Multatuli-lah orangnya.[]




NB: Fiuh. Pandjangnjaaaaa! :D
NB 2: Tapi salbut. Besok belajar lagi, ya!

Kara

Review novel "Memilikimu"
Penulis : Sanie B Kuncoro
Penerbit : GagasMedia


Ini cerita tentang suami yang sangat ingin menjadi ayah.

Untuk beberapa orang, arti dari menikah adalah juga mempersiapkan diri untuk punya anak. Membesarkan, memberi makan, menimang, menyekolahkan, bernaung bersama-sama dalam keluarga yang ramah dan hangat. Tapi nyatanya tak semua pasangan bisa dikaruniai anak. Kenyataan pedih inilah yang menimpa pasangan Anom dan Samara.

Anom adalah lelaki penyabar yang mencintai Samara benar-benar. Ketika mendapat vonis dokter bahwa Samara tak bisa punya anak, pasangan ini sama-sama terluka. Tapi dengan penuh keteduhan Anom menggenggam tangan istrinya sambil berkata;

“Kalau ada bagian dari sumpahku yang mengatakan bahwa aku akan mendampingimu dalam segala duka dan bahagia, bahwa aku menjadi bagian dari segenap sakit dan sehatmu. Maka, kuucapkan sepenuh ketulusan yang kupunya.”

Bertahun-tahun kemudian, Anom baru menyadari bahwa keinginannya untuk punya anak sebetulnya tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berpura-pura lupa, seolah segalanya telah berhasil dikuburnya dalam-dalam, padahal sebetulnya tidak. Ia selalu tersiksa pada bayang-bayang yang muncul tentang tawa anak-anak, tentang bagaimana seandainya ia bisa mendekap dan menimang tubuh kecil yang adalah darah dagingnya.

Ketika sesuatu yang diinginkan mustahil diwujudkan, sedemikian susahkah meredam angan-angan?

Barangkali iya. Karena Anom, sang suami bijaksana yang pengasih dan penyayang ini kemudian memikirkan sebuah rencana. Ia memutuskan akan ‘menyewa’ rahim perempuan lain untuk mengandung anaknya. Setelah perempuan itu melahirkan, anaknya akan diletakkan di depan rumah Anom supaya nanti ditemukan oleh Samara. Ketika itulah ia dan Samara akan merawat bayi itu dan membesarkannya bersama-sama.

Saya pernah membaca cerita soal ‘menyewa’ rahim yang mirip dengan ini di buku lain, bahkan film india juga ada cerita yang hampir sama, ah, di sinetron lokal juga pernah ada. Hanya saja bedanya, di cerita lain itu, sang istrilah yang mencarikan perempuan lain sementara suaminya bersikeras untuk setia.

Novel ini punya alur yang lambat. Semua peristiwa dibiarkan mengalir secara tenang, aman, dan tergambar sederhana. Hampir tidak ada yang menegangkan. Jarang sekali terjadi perdebatan antar tokoh. Bahkan perdebatan tokoh dengan dirinya sendiri pun hampir-hampir tak pernah terjadi. Ketika Lembayung diberi tawaran untuk jadi perempuan yang ‘disewa’ Anom, misalnya, ia hanya perlu berpikir satu malam. Mempertimbangkan hal-hal kecil, sebelum kemudian mengirimkan pesan persetujuan; ‘ya, aku mau’.

Di bagian itu saya mengernyit. Dan tak bisa memberi komentar lain kecuali; “Oh men. TitikDua AngkaTiga. TitikDua AngkaTiga. TitikDua AngkaTiga.”

Jika disajikan dalam gaya bahasa yang lain, dalam cara bercerita yang lain, barangkali saya akan mencerca Anom habis-habisan. Tapi di buku ini, saya justru mengasihaninya. Saya memaklumi bagaimana rindunya pada seorang anak, memaklumi bagaimana ia sebetulnya tidak ingin melukai Samara. Meski sebetulnya agak tak masuk akal bahwa seorang Anom yang sangat setia ini bisa menjalani hari-hari biasa di depan Samara, padahal ia sedang menyembunyikan kebohongan besar.

Ngomong-ngomong, jika judul Memilikimu dibuat untuk menggambarkan perasaan terluka Samara terhadap Anom, maka saya katakan, isi buku ini bukanlah tentang itu. Ini tentang Anom dan Lembayung. Tentang egoisme berlapis kelembutan hati. Tentang angan-angan, yang kadang terlalu perkasa hingga tak kuasa dikendalikan.


Ah. Ini buku yang kelam. Membuat saya takut berangan-angan...[]


Sabtu, 01 Maret 2014

Jean 24601 Valjean; Pelarian 02:37:47 *judul opo iki :3*


(Catatan tentang film Les Miserable, Tom Hooper)

Ketika menonton film ini, saya merasa lelah luar biasa. Awalnya saya kira saya bosan karena semua dialog disampaikan dengan nada. Apa ya namanya. Pokoknya, setiap kali tokoh-tokohnya bicara, mereka menyanyikannya. Saya sempat menduga jangan-jangan orang Prancis memang berkomunikasi dengan cara itu? Agak mustahil, sih, dan konyol. Tapi mungkin saja. Eh tapi entahlah. Saya belum googling.. :3

Kembali ke rasa lelah, di akhir saya baru menyadari bahwa film ini rupanya punya durasi yang panjang; 02:37:47. Oh baiklah. Pantas saja mata saya pegal. Lebih-lebih, selain berdurasi panjang, film ini membuat saya banyak terharu dan bersedih sehingga saya juga banyak menangis.

Ada satu pesan yang dapat ditangkap tanpa perlu repot-repot mencerna; bahwa kebaikan akan selalu membawa kebaikan. Kebaikan selalu bisa diandalkan. Kebaikan selalu bisa dijunjung tinggi. Kebaikan selalu bisa dipertahankan. Kebaikan adalah selamanya kebaikan.

Tahun 1815, 20 tahun sejak dimulainya Revolusi Prancis, seorang tahanan bernama Jean Valjean dibebaskan secara bersyarat. Mulanya, ia dihukum 5 tahun hanya karena mencuri sepotong roti untuk saudaranya yang sedang sakit. Namun hukumannya diperpanjang hingga 19 tahun karena ia mencoba kabur. Setelah masa hukumannya berlalu dan diberi surat pembebasan bersyarat, Jean Valjean memang boleh keluar dari tahanan. Namun masyarakat mengucilkannya. Ia tak bisa mendapat pekerjaan, ia hidup menggelandang dan kelaparan.

Ia sedang meringkuk di emperan sebuah rumah ketika sang pemilik rumah datang dan menyuruhnya masuk. Mungkin Jean Valjean tak percaya lagi dengan kebaikan, mungkin ia sudah muak. Setelah disuguhi makanan, setelah diberi tempat yang nyaman untuk menginap, ketika penghuni rumah sudah tertidur, Jean Valjean justru mengendap-endap untuk mencuri barang-barang dan membawanya kabur. Paginya, ia ditangkap dan dibawa kembali ke rumah tempat ia menginap.

“Tuan-tuan?” ujar sang pemilik rumah.

Orang-orang yang menangkap Jean Valjean berkata (atau bernyanyi?), “Kami membawa barang perakmu. Kami menangkap pria ini dengan barang buktinya. Dia mengatakan kau yang memberikannya.”

Jean Valjean mengira ia akan digelandang ke tempat tahanan dan diperbudak lagi karena telah ketahuan mencuri. Tapi alangkah tertegunnya ia ketika sang pemilik rumah justru mengatakan bahwa barang-barang itu memang ia berikan untuk Jean Valjean. Setelah para penangkap itu pergi, pemilik rumah memberikan perak berharga untuk Jean Valjean.

“Kau harus menggunakan perak berharga ini untuk menjadi manusia yang luhur,” katanya. “Tuhan telah mengangkatmu dari kegelapan. Aku menyelamatkan jiwamu untuk Tuhan.”

Jean Valjean menangis. Ia tak percaya bahwa masih ada yang percaya ia masih memiliki jiwa. Ia pergi berdoa, meminta ampun pada Tuhan. Ia membuang surat pembebasan bersyaratnya karena bertekad akan jadi manusia baru. Ia melupakan masa lalunya yang kelam sebagai Jean Valjean.

Delapan tahun kemudian, ia menjadi walikota baik hati yang dihormati warganya.

Selain menjadi walikota, ia berhasil membangun pabrik besar dan mempekerjakan ribuan buruh. Harusnya ia bisa hidup tenang. Tapi suatu hari ia bertemu dengan Javert, seorang polisi yang delapan tahun lalu memberinya surat pembebasan bersyarat. Javert menaruh curiga bahwa jangan-jangan Sang Walikota adalah Jean Valjean, tahanan (bersurat pembebasan bersyarat) yang menghilang tanpa jejak bertahun-tahun silam. Ketika Javert akhirnya tahu bahwa Walikota memang Jean Valjean, dilakukanlah upaya-upaya penangkapan.

Alasan kenapa Walikota (atau Jean Valjean) tidak mau menyerahkan diri kembali, adalah karena ia punya ribuan buruh yang menggantungkan hidup kepadanya. Alasan lain kemudian bertambah lagi ketika ia bertemu perempuan cantik bernama Fantine, yang sedang sekarat. Fantine adalah seorang ibu, ia terlunta-lunta di jalanan, susah payah mencari uang untuk putri semata wayangnya yang bernama Cossete. Sebelum Fantine akhirnya meninggal dunia, Walikota berjanji bahwa ia akan menjaga dan membesarkan Cossete.

Maka ia membesarkan Cossete sambil terus menyembunyikan diri dari kejaran Javert.

Yang keren dari film ini, adalah, bahwa selain dua tokoh penipu yang memang pekerjaannya adalah menipu, tidak ada tokoh yang digambarkan jahat. Saya bahkan lebih suka karakter antagonis Eponine daripada Cossete yang notabene protagonis. Eponine adalah sepupu Cossete yang jatuh cinta pada Marius, tapi Marius jatuh cinta pada Cossete. Cinta Eponine yang bertepuk sebelah tangan dengan sangat menyedihkan ini membuat saya terkesan. Ia memang agak nakal karena menyembunyikan surat dari Cossete untuk Marius. Tapi di luar itu, Eponine tergambar begitu tabah dan keren.

Film ini mengandung banyak sekali muatan; sejarah Prancis, kalimat-kalimat puitis, tata krama, dan seperti yang saya bilang tadi, film ini memberi pelajaran bahwa kebaikan bisa dilakukan oleh siapa saja. Kebaikan akan selalu membawa kebaikan.[]

Melihat Lebih Dekat

 
(sedikit catatan tentang film EPIC)
“Seseorang pernah berkata, jika kau berdiri diam di hutan cukup lama. Kau akan lihat peperangan tersembunyi. Kalau kau tak percaya lihatlah lebih dekat. Dan jika belum, lihat lebih dekat lagi.”

Adalah Mary Katherine, seorang gadis yang mendatangi rumah ayahnya (di tengah hutan) untuk mencoba tinggal kembali di sana.  Ayah Mary adalah pria aneh yang sibuk. Ia memasang kamera pengintai di hampir seluruh penjuru hutan. Ia membuat helm dengan kaca pembesar yang dilengkapi teknologi untuk memperlambat gerakan. Ia mengumpulkan semua barang-barang temuan yang dianggapnya aneh. Ia akan berlari kencang ke dalam hutan setiap kali alarm di monitornya berbunyi.

Bahkan pada hari pertama kedatangan Mary Katherine di rumah ayahnya, ia sudah tidak betah. Mary meminta ayahnya menghentikan kesibukan-kesibukannya, dan meminta supaya mereka bisa hidup secara normal. Yang menurut Mary tidak normal, adalah karena ayahnya yakin sekali bahwa di hutan ada kehidupan makhluk-makhluk mini modern. Makhluk berukuran kecil yang menjadikan burung-burung sebagai kendaraan, yang pergerakannya sangat cepat hingga ia harus membuat alat-alat canggih untuk mendeteksi keberadaan mereka.

“Kau pernah berpikir kenapa sulit memukul lalat?” tanya ayahnya. “Teoriku adalah mereka hidup lebih cepat. Seperti dalam dimensi berbeda. Jadi, seberapa pun kita pikir kita cepat! Bagi mereka, kita ini besar dan bodoh dan ... lamban.”

Tapi apapun yang dibilang ayahnya, Mary tidak percaya. Demikian juga sebaliknya, apapun yang dibilang Mary, ayahnya tetap saja berlari ke hutan begitu mendengar alarmnya berbunyi, meninggalkan Mary sendiri. Mary kecewa. Ia menulis surat, menempelkannya ke monitor, kemudian menarik kopernya ke luar rumah dan menelepon taxi.

“Aku mau kabur. Kubilang, jemput aku di—halo? Tak dapat sinyal!”

Bersamaan dengan itu, anjing kecil milik ayah Mary ke luar dari rumah.

“Ozzy! Duduk!” perintahnya. Tapi anjing itu berlari memasuki hutan, dan tidak mau berhenti meski Mary sudah berteriak. Mary meninggalkan kopernya di teras rumah dan tergesa-gesa mengejar Ozzy. Ia masuk ke dalam hutan ....

Sebetulnya, memang perlu melihat lebih dekat saja untuk memahami dan mempercayai sesuatu. Semakin tidak dipercaya, semakin ayah Mary bersikeras ingin membuktikan bahwa yang dikerjakannya bukan khayalan. Ia percaya di dalam hutan ada orang-orang mini. Dan pada kenyataannya memang ada. Ke tempat itulah Mary kemudian terjebak. Ia mengecil, bertemu Nod dan Ronin, bertemu Tara sang ratu, bertemu siput yang bisa bicara, dan ia ikut berperang melawan para Boggan yang berniat membusukkan seluruh hutan.

Saya selalu suka film-film bermuatan baik yang tidak sok baik. Tidak ada tokoh yang terlihat seperti malaikat. Kecuali penampakan yang tidak terlihat persis manusia (karena mereka adalah animasi :p), karakter mereka begitu hidup dan manusiawi. Di beberapa bagian, mereka berucap dan bertindak bijaksana. Saya tertawa ketika Si Siput menghina Nod. Saya menangis ketika Mary melihat ayahnya bersedih.

Kesimpulannya, film ini ... apa ya? Manis sekali? Ya. Manis sekali.[]





“Banyak daun, satu pohon. Kami semua individu tapi kami masih terhubung. Tak ada orang yang sendirian.” (Ronin)


“Jika kau begitu ingin pulang, kenapa tadinya kau pergi?” (Nim Galuu)

Jumat, 24 Januari 2014

Jika ingin melakukan apapun tanpa izin orangtua ketika umurmu sudah 23; Tinggallah di Paris.

Sedikit catatan tentang novel Pulang, Leila S. Chudori.
  
“... karena Lintang kini sudah berusia 23 tahun. Dia sudah dewasa dan kalau dia mau pergi ya pergi saja. Bahwa dia membicarakannya dulu dengan Vivienne dan Dimas itu karena Lintang anak yang baik dan mencintai orangtuanya. Bukan karena dia minta restu, apalagi izin.” (hal. 232)

Betapa saya sangat iri pada sempurnanya kehidupan Lintang. Lahir dan tumbuh di Paris, menguasai tiga bahasa, cantik, kulitnya putih susu, postur tubuh semampai, bermata cokelat tajam, banyak membaca, pemberani, cerdas, baik hati, tangguh, tekun, supel, ramah, anak tunggal blasteran dari ibu yang Prancis dan ayah yang Indonesia. Ia mahasiswi Sorbonne. Pada tahun 1998, di usianya yang ke 23, Lintang memutuskan pergi ke Indonesia untuk membuat proyek tugas akhirnya.

Ayah Lintang, Dimas Suryo, adalah seorang wartawan yang pada tahun 1965 meninggalkan Indonesia untuk mengikuti Konferensi Jurnalis. Dimas kemudian mendengar kabar bahwa di Indonesia tengah meledak peristiwa 30 September. Siapapun yang dicurigai sebagai komunis diburu oleh tentara. Bahkan keluarga, tetangga, atau sekadar sahabat turut ditahan dan diinterogasi. Tak ada yang jelas dengan nasib para tahanan. Ada yang kembali, ada yang hilang, ada yang dibantai, dan banyak sekali mayat-mayat dihanyutkan ke sungai. Untuk alasan itulah Dimas tak bisa pulang. Ia lalu memutuskan tinggal di Paris, menikah, punya anak, dan sampai puluhan tahun kemudian tetap tak bisa pulang karena permohonan visanya selalu ditolak.

Sejak awal Dimas tak pernah secara jelas memutuskan dirinya berpihak pada komunis atau non-komunis. Ia bergaul baik dengan kawan-kawannya yang aktif di Lekra, dan di sisi lain juga akrab dengan kawan yang anti-komunis. Namun demikian, kelak, ketika adiknya yang tinggal di Indonesia sudah berkeluarga dan memiliki anak, mereka tetap diberi cap sebagai keluarga bekas tapol. Semua keluarga para eks tapol—entah sampai keturunan keberapa—dibubuhkan tanda ET (eks tapol) di KTP, dan mereka yang memiliki cap ini mengalami banyak diskriminasi.

Proyek tugas akhir Lintang adalah membuat film dokumenter tentang korban-korban peristiwa 1965. Selain ayahnya (yang menjadi korban karena tak pernah bisa pulang ke Indonesia) ia ingin menggali lebih dalam dari para saksi peristiwa 1965 secara langsung. Keluarga para ET juga termasuk dalam daftar narasumbernya. Dengan dibantu Alam, dan kawan-kawan lain yang bergiat di LSM, ia melakukan satu demi satu wawancara. Tugasnya jadi semakin berat ketika ternyata, pada waktu yang sama, Indonesia sedang rusuh. Mahasiswa gencar melakukan demonstrasi untuk menggulingkan Presiden.

Buku setebal 464 halaman ini kemudian bicara begitu banyak. Leila mahir menyuguhkan beraneka konflik yang serupa setumpuk benang rumit untuk kemudian ia uraikan pelan-pelan. Kisah cinta Dimas dengan Surti Anandari, Dimas dengan Vivienne, Lintang dengan Nara, Lintang dengan Alam, juga kisah-kisah cinta yang lain. Atau konflik antara Dimas dengan batinnya sendiri. Bagaimana ia merasa rindu yang terus-menerus dipendam pada tanah air, dan kerinduan inilah yang paling banyak menyiksanya.

Di sisi lain, alur yang dipilih Leila banyak sekali menggunakan flashback. Ada banyak bagian yang dicetak miring untuk menunjukkan bahwa itu pengisahan masa lalu. Kadang ini membantu, kadang tidak terlalu. Pada bagian awal, ketika Dimas bertemu Vivienne, ia menggunakan bahasa ‘saat ini’, seolah-olah apa yang dialami Dimas adalah benar-benar saat itu juga. Tapi jangan-jangan bukan, karena Dimas menyinggung soal surat dari Aji dan Kenanga yang seharusnya baru dikirim dua bulan setelahnya. Maka saya pikir gaya ini menarik—sekaligus lumayan membingungkan.

Di luar itu, ini novel yang kaya namun tidak berat. Leila memaparkan sejarah, politik, pewayangan, sastra, bahkan juga tentang masak-memasak, tanpa membuat saya bosan.

Satu-satunya hal menyebalkan ya adalah Lintang. Tentang kenapa ia harus terlahir demikian sempurna. Lintang bahkan memahami Indonesia jauh lebih dalam daripada saya. Padahal ia lahir di Paris dan tak pernah ke Indonesia sampai umurnya 23, sedangkan saya lahir dan besar di negara ini selama 23 tahun. Apakah ia sekeren itu semata-mata karena ia adalah anak Dimas Suryo? Apakah karena ia hidup di Orde Baru? Apakah karena ia rajin membaca buku? Apakah karena ia mahasiswi Sorbonne? Entahlah.

Lintang bahkan menulis begini pada suratnya untuk Dimas; “Ada sesuatu yang agak aneh di sini: anak-anak mudanya tak banyak yang mempelajari atau tertarik pada sejarah.”

Itu, jangan-jangan maksudnya, adalah anak muda yang seperti saya?[]

Kemalangan Perempuan adalah Jatuh Cinta Terlalu Dalam pada Seseorang yang ...

Catatan tentang Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya, Dewi Kharisma Michellia

Sama sekali tidak ada dialog antar tokoh pada novel Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya. Tokoh aku bahkan selalu menjadi aku, tuan pemilik toko selalu menjadi tuan pemilik toko, tuan alien selalu menjadi tuan alien, dan semua tokoh lain yang juga selalu diberi sebutan semacam; gadismu, gadis berliontin naga, anak tuan pemilik toko, Nyonya Pemred, atau kekasihku. Mereka tak pernah diperkenalkan siapa namanya, sampai akhir cerita.

Surat panjang di novel ini ditulis oleh tokoh perempuan 41 tahun, sebagai balasan untuk surat yang dikirimkan oleh sahabat lamanya. Sahabat lama yang sejak kelas 3 SD selalu jadi teman satu-satunya yang dimiliki oleh Si Perempuan. Sahabat lama yang pernah saling mengaitkan jari dan mengikrarkan padanya bahwa mereka kelak akan menikah, bahwa merekalah pasangan alien sejati. Si Perempuan menyebutnya Tuan Alien. Pada surat yang dikirimkan setelah bertahun-tahun tak saling bertukar kabar itu, Tuan Alien menyertakan bingkisan berisi kebaya murah, dan undangan pernikahan.

Apa mungkin kau menikahi gadis itu karena kau menemukan perbedaan yang menyerasi semacam itu di antara kalian; dan kau tak menemukannya dalam diriku? (hal. 16)

Si Perempuan tak pernah yakin apakah surat-suratnya sebaiknya ia kirimkan, apakah sebaiknya Tuan Alien membacanya, apakah sebaiknya laki-laki itu mengetahui isi hatinya meski ia sudah akan punya istri. Tapi ia terus menulis. Bahkan setelah pernikahan dilangsungkan. Bahkan ketika Tuan Alien berbulan madu. Bahkan ketika kemudian Si Perempuan mendapatkan seorang kekasih yang suatu hari nanti memboncengnya naik vespa untuk berlibur ke Yogyakarta.

Surat-surat yang tak pernah dikirimkan (yang mungkin sekarang sudah dikirimkan entah oleh siapa—dan entah terbaca atau tidak) ini berjumlah 37. Si Perempuan menuliskan banyak hal. Cerita detail tentang masa lalu, tentang Ayah dan Ibu, tentang kuliah, pekerjaan, Kakek dan Nenek, teman yang menghilang, dan lain-lain, termasuk juga tentang cinta yang kandas. Sebagian besar adalah cerita tentang dirinya sendiri, yang mirip diari. Barangkali untuk alasan itulah di surat ke 32, Si Perempuan (Atau Dewi Kharisma Michellia, penulis novel ini? Atau ditambahkan atas saran editor?) kemudian menyisipkan dengan tanda kurung;

Sejujurnya selama ini aku merasa menulis sampah untuk diriku sendiri. Setelah menulis sekian banyak, aku tiba-tiba menyadari, surat-suratku ini lebih banyak bercerita tentangku, ketimbang bernostalgia tentangmu.

Hanya dua (atau tiga atau empat atau entah berapa) yang isinya berkepentingan langsung dengan Tuan Alien. Bahkan momen spesial antara Si Perempuan dengan Tuan Alien tak banyak diceritakan secara detail. Beberapa hanya diceritakan sekilas, dan ini membuat kedekatan Tuan Alien dan Si Perempuan seperti tak terlalu punya arti. Meski demikian kisah hidup Si Perempuan memanglah menarik untuk disimak. Lepas dari tak terlalu sinkronnya isi surat dengan judul yang membawa-bawa kalimat ‘tentang kita’. Karena memang tak kesemuanya bercerita tentang ‘kita’.

Selebihnya, novel ini menarik. Si Perempuan digambarkan dengan karakter melankolis-koleris, yang tak disukai sekitar (bahkan oleh ibunya sendiri), dan tak suka banyak bergaul. Ia tak banyak mengeluh dan tak banyak marah, barangkali ini juga efek karena ia mengambil kuliah psikologi? Pada bagian awal ia tergambarkan sebagai perempuan antisosial yang tertutup, atau mungkin ia memang begitu. Menariknya, meski sifatnya demikian ia bisa disayangi oleh tuan pemilik toko, dicintai kekasihnya, dan segelintir orang pasti pernah menyayanginya dengan sangat namun karena ia yang menulis sendiri suratnya, barangkali ia tak merasa. Tidakkah barangkali Tuan Alien sebetulnya juga pernah punya perasaan yang sama? Apapun, yang Si Perempuan mengerti adalah bahwa dirinya selalu mencintai Tuan Alien sampai akhir.[]

Tidakkah hidup itu aneh? Ada manusia yang berhak mengetahui hal-hal yang manusia lain tak tahu. Ada manusia yang seumur hidupnya bahagia; atau seumur hidupnya sengsara. (hal. 198)

Waktu mengubah pemahaman seseorang akan dunia. Waktu tak mengubah pemahamanku tentangmu. (hal. 209)

Untuk itukah kembang api diledakkan?—untuk menyemarakkan langit yang muram? (hal. 218)