Jumat, 24 Januari 2014

Jika ingin melakukan apapun tanpa izin orangtua ketika umurmu sudah 23; Tinggallah di Paris.

Sedikit catatan tentang novel Pulang, Leila S. Chudori.
  
“... karena Lintang kini sudah berusia 23 tahun. Dia sudah dewasa dan kalau dia mau pergi ya pergi saja. Bahwa dia membicarakannya dulu dengan Vivienne dan Dimas itu karena Lintang anak yang baik dan mencintai orangtuanya. Bukan karena dia minta restu, apalagi izin.” (hal. 232)

Betapa saya sangat iri pada sempurnanya kehidupan Lintang. Lahir dan tumbuh di Paris, menguasai tiga bahasa, cantik, kulitnya putih susu, postur tubuh semampai, bermata cokelat tajam, banyak membaca, pemberani, cerdas, baik hati, tangguh, tekun, supel, ramah, anak tunggal blasteran dari ibu yang Prancis dan ayah yang Indonesia. Ia mahasiswi Sorbonne. Pada tahun 1998, di usianya yang ke 23, Lintang memutuskan pergi ke Indonesia untuk membuat proyek tugas akhirnya.

Ayah Lintang, Dimas Suryo, adalah seorang wartawan yang pada tahun 1965 meninggalkan Indonesia untuk mengikuti Konferensi Jurnalis. Dimas kemudian mendengar kabar bahwa di Indonesia tengah meledak peristiwa 30 September. Siapapun yang dicurigai sebagai komunis diburu oleh tentara. Bahkan keluarga, tetangga, atau sekadar sahabat turut ditahan dan diinterogasi. Tak ada yang jelas dengan nasib para tahanan. Ada yang kembali, ada yang hilang, ada yang dibantai, dan banyak sekali mayat-mayat dihanyutkan ke sungai. Untuk alasan itulah Dimas tak bisa pulang. Ia lalu memutuskan tinggal di Paris, menikah, punya anak, dan sampai puluhan tahun kemudian tetap tak bisa pulang karena permohonan visanya selalu ditolak.

Sejak awal Dimas tak pernah secara jelas memutuskan dirinya berpihak pada komunis atau non-komunis. Ia bergaul baik dengan kawan-kawannya yang aktif di Lekra, dan di sisi lain juga akrab dengan kawan yang anti-komunis. Namun demikian, kelak, ketika adiknya yang tinggal di Indonesia sudah berkeluarga dan memiliki anak, mereka tetap diberi cap sebagai keluarga bekas tapol. Semua keluarga para eks tapol—entah sampai keturunan keberapa—dibubuhkan tanda ET (eks tapol) di KTP, dan mereka yang memiliki cap ini mengalami banyak diskriminasi.

Proyek tugas akhir Lintang adalah membuat film dokumenter tentang korban-korban peristiwa 1965. Selain ayahnya (yang menjadi korban karena tak pernah bisa pulang ke Indonesia) ia ingin menggali lebih dalam dari para saksi peristiwa 1965 secara langsung. Keluarga para ET juga termasuk dalam daftar narasumbernya. Dengan dibantu Alam, dan kawan-kawan lain yang bergiat di LSM, ia melakukan satu demi satu wawancara. Tugasnya jadi semakin berat ketika ternyata, pada waktu yang sama, Indonesia sedang rusuh. Mahasiswa gencar melakukan demonstrasi untuk menggulingkan Presiden.

Buku setebal 464 halaman ini kemudian bicara begitu banyak. Leila mahir menyuguhkan beraneka konflik yang serupa setumpuk benang rumit untuk kemudian ia uraikan pelan-pelan. Kisah cinta Dimas dengan Surti Anandari, Dimas dengan Vivienne, Lintang dengan Nara, Lintang dengan Alam, juga kisah-kisah cinta yang lain. Atau konflik antara Dimas dengan batinnya sendiri. Bagaimana ia merasa rindu yang terus-menerus dipendam pada tanah air, dan kerinduan inilah yang paling banyak menyiksanya.

Di sisi lain, alur yang dipilih Leila banyak sekali menggunakan flashback. Ada banyak bagian yang dicetak miring untuk menunjukkan bahwa itu pengisahan masa lalu. Kadang ini membantu, kadang tidak terlalu. Pada bagian awal, ketika Dimas bertemu Vivienne, ia menggunakan bahasa ‘saat ini’, seolah-olah apa yang dialami Dimas adalah benar-benar saat itu juga. Tapi jangan-jangan bukan, karena Dimas menyinggung soal surat dari Aji dan Kenanga yang seharusnya baru dikirim dua bulan setelahnya. Maka saya pikir gaya ini menarik—sekaligus lumayan membingungkan.

Di luar itu, ini novel yang kaya namun tidak berat. Leila memaparkan sejarah, politik, pewayangan, sastra, bahkan juga tentang masak-memasak, tanpa membuat saya bosan.

Satu-satunya hal menyebalkan ya adalah Lintang. Tentang kenapa ia harus terlahir demikian sempurna. Lintang bahkan memahami Indonesia jauh lebih dalam daripada saya. Padahal ia lahir di Paris dan tak pernah ke Indonesia sampai umurnya 23, sedangkan saya lahir dan besar di negara ini selama 23 tahun. Apakah ia sekeren itu semata-mata karena ia adalah anak Dimas Suryo? Apakah karena ia hidup di Orde Baru? Apakah karena ia rajin membaca buku? Apakah karena ia mahasiswi Sorbonne? Entahlah.

Lintang bahkan menulis begini pada suratnya untuk Dimas; “Ada sesuatu yang agak aneh di sini: anak-anak mudanya tak banyak yang mempelajari atau tertarik pada sejarah.”

Itu, jangan-jangan maksudnya, adalah anak muda yang seperti saya?[]

0 komentar:

Posting Komentar