Minggu, 09 Maret 2014

Catatan (yang berantakan dan sama sekali tak memadai) tentang; Max Havelaar

Max Havelaar;
Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda
Penulis : Multatuli
Penerbit Djambatan
Tahun 1972
Terdjemahan H.B Jassin

"Pertjajalah, berhenti sama dengan maut." —Havelaar

Begitu berhasil membaca buku ini sampai halaman akhir, saya ingin sekali kembali ke halaman pertama dan membaca ulang namun lebih pelan-pelan. Sayangnya masa pinjam saya untuk buku ini hanya seminggu, dan itu bukan waktu yang cukup untuk membaca dua kali, apalagi secara pelan-pelan.

Ah. Saya jadi tidak tahu apa yang harus dituliskan.

Mungkin, adalah tindakan yang membodoh-bodohkan diri sendiri saja bila saya pada akhirnya tetap mencoba menulis sedikit ulasan soal Max Havelaar, Si Sjaalman, sang asisten residen yang hanya beberapa bulan menjabat namun harus diberhentikan akibat kebaikan hatinya yang keterlaluan. Tapi toh akan tetap saya tuliskan. Soalnya, eman-eman. :3

Ada tiga sudut pandang di buku ini. Multatuli sengaja membuat buku ini seolah-olah ditulis oleh tiga orang berbeda secara bergantian. Orang pertama adalah Droogstoppel; warga Belanda, seorang makelar kopi, yang sangat menjunjung tinggi martabatnya sendiri dan tampil dengan sangat sok sutji. Orang kedua adalah Stern; pemuda Jerman. Sementara orang ketika adalah Multatuli sendiri, yang baru akan muncul di bagian akhir.

Alur cerita yang disajikan Multatuli adalah seperti ini;

Pada suatu hari Droogstoppel bertemu dengan seseorang; yang mengenakan syal, yang berpenampilan miskin, yang tidak bisa menjawab ketika ditanya ‘sekarang jam berapa?’, yang di masa lalu ternyata pernah menyelamatkan Droogstoppel ketika ia hendak dihajar seorang Yunani. Seseorang yang oleh Droogstoppel disebut Sjaalman (karena ia mengenakan syal) ini, beberapa hari kemudian mendatanginya untuk meminta bantuan. Sjaalman menyerahkan sebuah bungkusan berisi naskah-naskah, dan melampirkan sebuah surat bahwa ia ingin Droogstoppel mengongkosi penerbitan bukunya.

“Saya yakin, bahwa hasil karya saya akan dapat menutup ongkos-ongkos, dan saya berani memutuskan itu,” katanya di surat.

Droogstoppel bukan orang yang dermawan (Kalau tak mau dibilang pelit dan menyebalkan dan sangat menjijikkan. Ketika pertama kali melihat Sjaalman, ia bahkan berpikir; “Saya tidak suka kepada orang miskin, sebab biasanya kemiskinan itu karena salah sendiri”). Tapi bungkusan yang dikirimkan Sjaalman itu dibuka oleh Frits, dan putra Droogstoppel itu menyukai beberapa sajak yang dibuat oleh Sjaalman. Diam-diam Droogstoppel ikut membongkar bungkusan Sjaalman, dan ia menemukan banyak literatur yang menarik tentang kopi. Ketika itu ia kemudian berpikir untuk membuat sebuah buku, yang katanya akan diberi judul; Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda. Karena tak pandai menulis, ia meminta bantuan pada Stern. Maka demikianlah. Bukunya ditulis secara bergantian.

Bagian yang ditulis Droogstoppel agak terbaca seperti racauan yang tidak bermanfaat. Ia sibuk menceritakan segala hal dan menyombongkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Pada beberapa bab, ia bahkan menyela bagian yang ditulis Stern. Karena katanya, Stern menuliskan kebohongan, dan pemuda itu seharusnya segera bertobat.

Bagian yang dituliskan Stern adalah cerita-cerita tentang Max Havelaar. Pemuda ini rupanya tak menuruti perintah Droogstoppel untuk setia pada judul Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda. Ia malah menuliskan kisah (agak roman), yang bahan-bahannya ia peroleh dari arsip-arsip Sjaalman. Kisah tentang Max Havelaar sejak pertama kali tiba di Lebak, juga ketika Max Havelaar menghadapi persoalan-persoalan pelik yang bertentangan dengan panggilan jiwanya.

Setelah membaca ini, saya baru tahu bahwa rupanya, pada tahun 1850an, di Hindia Belanda terdapat dua jenis pemerintahan; Pemerintahan Belanda (Residen, Asisten Residen, Kontelir) dan Pemerintahan Bumiputera (Bupati, Patih, Demang, Jaksa, dll). Hubungan antara kedua penguasa inilah yang kemudian dirasakan demikian ironis oleh Max Havelaar.

Masyarakat Jawa yang ramah dan pemurah, dimanfaatkan untuk bekerja secara sukarela tanpa diberi upah yang layak oleh petinggi-petinggi, termasuk demang, termasuk bupati. Masyarakat berbondong-bondong mengerjakan sawah yang bukan miliknya sendiri, membajak, menanam, memanen, namun tetap kelaparan karena hasil panen harus diserahkan pada pemerintah. Tak sedikit dari mereka yang harta bendanya dirampas, bahkan kerbau-kerbaunya, bahkan anak gadisnya. Inilah yang dilihat oleh Max Havelaar, yang membuat nuraninya terusik, yang membuatnya geram.

Ia ingin menegakkan keadilan tapi tak ada yang mendukungnya. Orang-orang datang melapor ke rumahnya di malam hari, tapi tak pernah hadir kembali esoknya jika diminta menjadi saksi. Masyarakat yang tertindas ini ketakutan. Pada akhirnya Max Havelaar mengambil keputusan untuk melaporkan penyimpangan yang terjadi pada Gubernur Jendral, dan memberanikan diri untuk mempertanggung jawabkannya sendiri. Sayangnya, yang terjadi malah ia diminta menarik kembali laporannya. Havelaar tetap bersikeras, ujung-ujungnya, ia malah dicap tidak becus menjabat.

Hah. Bahkan Max Havelaar yang sebetulnya waktu itu berkewarganegaraan ‘penjajah’ saja bisa sebegini terusik dan sangat berani membela masyarakat Hindia.

Sejak tokoh ini pertama kali muncul, saya sudah mengagumi cara Stern (atau Multatuli) menggambarkan sifat-sifat Max Havelaar dan istrinya. Bahwa Havelaar, katanya, adalah orang; “yang selalu pertama kali merasakan luka yang ditikamkan oleh kata-katanya yang tajam, dan ia menderita lebih-lebih dari orang yang dilukainya”.

Penggambaran Nyonya Havelaar lebih mengagumkan lagi; “Nyonya Havelaar tidaklah cantik, tapi dalam pandangan dan bicaranya ada sesuatu yang manis sekali.” Lalu di beberapa kalimat selanjutnya dijelaskan kembali; “Saya katakan, bahwa ia tidak cantik, namun saya tidak mau anda mengira ia jelek. Sudah sering dikatakan, bahwa wajah seseorang adalah cermin jiwanya, sehingga orang tidak lagi menghargai potret wajah yang diam, yang tidak mencerminkan sesuatu, karena tidak terpantul jiwa daripadanya. Nah, dia memiliki jiwa yang cantik, dan butalah orang yang tidak juga menganggap wajahnya cantik, jika jiwanya terbayang di dalamnya.”

Saya jarang menyebutkan akhir cerita sebuah buku. Tapi di tulisan ini sepertinya sudah saya sebutkan. Bahkan mungkin lebih dari sekali. Atau biarkan saya menuliskannya secara rinci. Bahwa di lima halaman sebelum terakhir, Multatuli kemudian mengambil alih pena dan menghentikan Stern yang sedang bercerita. Inilah cuplikan kemunculan Multatuli;

***
Havelaar mengembara kian kemari, miskin dan sepi. Ia mencari ...

Cukuplah, Stern yang baik. Aku, Multatuli, mengangkat pena. Anda tidak terpanggil menuliskan sejarah hidup Havelaar. Aku menghidupkan anda. Aku datangkan anda dari Hamburg, aku ajarkan anda bahasa Belanda yang baik, dalam waktu yang singkat sekali. Aku suruh anda mencium Louise Rosemeijer, yang ayahnya berdagang pula. Cukuplah, Stern, anda boleh pulang.

Si Sjaalman itu dan isterinya ...

Stop, hasil celaka nafsu mata duitan yang kotor dan kemunafikan yang menghujah Tuhan! Akulah yang menciptakan anda, anda membesar menjadi makhluk yang dahsyat di bawah penaku, aku jijik dengan bikinanku sendiri, terbenamlah dalam kopi, dan pergilah!
***

Dan Multatuli melanjutkan bukunya sampai halaman terakhir. Di halaman paling belakang, ada bait-bait Liat Lah Badjing, sebuah puisi tentang Saidjah dan Adinda.

Yang menyebalkan ketika saya sudah selesai dan masih saja penasaran ingin membuka-buka halaman awal, adalah ketika saya baru tertarik untuk membaca bab Pendahuluan. Pada bab yang dibuat oleh Drs. G. Termorshuizen itulah saya baru membaca, bahwasanya, Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker. Diceritakan pula bagaimana perjalanan hidup Dekker. Bahwa ia berangkat ke Jawa ketika usianya 18 tahun, bahwa ia pernah menjadi kontelir di Natal, menikah dengan Everdine Huberte van Wijnbergen, dan pada tahun 1856 ia menjadi asisten residen di Lebak!

Sekarang sudah tahun 2014. Hindia Belanda sudah laaama sekali berganti nama jadi Indonesia. Alangkah anunya saya karena baru membaca Multatuli. Baru mengetahui bahwa Max Havelaar, bahwa Si Sjaalman yang keren ini bukan sekadar tokoh karangan Stern atau Droogstoppel semata. Ia ada; Multatuli-lah orangnya.[]




NB: Fiuh. Pandjangnjaaaaa! :D
NB 2: Tapi salbut. Besok belajar lagi, ya!

0 komentar:

Posting Komentar