Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda
Penulis : Multatuli
Penerbit Djambatan
Tahun 1972
Terdjemahan H.B Jassin
"Pertjajalah, berhenti sama dengan maut." —Havelaar
Begitu berhasil membaca buku ini sampai halaman akhir, saya ingin
sekali kembali ke halaman pertama dan membaca ulang namun lebih pelan-pelan.
Sayangnya masa pinjam saya untuk buku ini hanya seminggu, dan itu bukan waktu
yang cukup untuk membaca dua kali, apalagi secara pelan-pelan.
Ah. Saya jadi tidak tahu apa yang harus dituliskan.
Mungkin, adalah tindakan yang membodoh-bodohkan diri sendiri saja bila
saya pada akhirnya tetap mencoba menulis sedikit ulasan soal Max Havelaar, Si
Sjaalman, sang asisten residen yang hanya beberapa bulan menjabat namun harus
diberhentikan akibat kebaikan hatinya yang keterlaluan. Tapi toh akan tetap
saya tuliskan. Soalnya, eman-eman. :3
Ada tiga sudut pandang di buku ini. Multatuli sengaja membuat buku ini
seolah-olah ditulis oleh tiga orang berbeda secara bergantian. Orang pertama
adalah Droogstoppel; warga Belanda, seorang makelar kopi, yang sangat
menjunjung tinggi martabatnya sendiri dan tampil dengan sangat sok sutji.
Orang kedua adalah Stern; pemuda Jerman. Sementara orang ketika adalah
Multatuli sendiri, yang baru akan muncul di bagian akhir.
Alur cerita yang disajikan Multatuli adalah seperti ini;
Pada suatu hari Droogstoppel bertemu dengan seseorang; yang mengenakan
syal, yang berpenampilan miskin, yang tidak bisa menjawab ketika ditanya
‘sekarang jam berapa?’, yang di masa lalu ternyata pernah menyelamatkan
Droogstoppel ketika ia hendak dihajar seorang Yunani. Seseorang yang oleh
Droogstoppel disebut Sjaalman (karena ia mengenakan syal) ini, beberapa hari
kemudian mendatanginya untuk meminta bantuan. Sjaalman menyerahkan sebuah
bungkusan berisi naskah-naskah, dan melampirkan sebuah surat bahwa ia ingin
Droogstoppel mengongkosi penerbitan bukunya.
“Saya yakin, bahwa hasil karya saya akan dapat menutup ongkos-ongkos,
dan saya berani memutuskan itu,” katanya di surat.
Droogstoppel bukan orang yang dermawan (Kalau tak mau dibilang pelit
dan menyebalkan dan sangat menjijikkan. Ketika pertama kali melihat Sjaalman,
ia bahkan berpikir; “Saya tidak suka kepada orang miskin, sebab biasanya
kemiskinan itu karena salah sendiri”). Tapi bungkusan yang dikirimkan Sjaalman
itu dibuka oleh Frits, dan putra Droogstoppel itu menyukai beberapa sajak yang
dibuat oleh Sjaalman. Diam-diam Droogstoppel ikut membongkar bungkusan
Sjaalman, dan ia menemukan banyak literatur yang menarik tentang kopi. Ketika
itu ia kemudian berpikir untuk membuat sebuah buku, yang katanya akan diberi
judul; Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda. Karena tak pandai
menulis, ia meminta bantuan pada Stern. Maka demikianlah. Bukunya ditulis
secara bergantian.
Bagian yang ditulis Droogstoppel agak terbaca seperti racauan yang
tidak bermanfaat. Ia sibuk menceritakan segala hal dan menyombongkan diri
sendiri dan menyalahkan orang lain. Pada beberapa bab, ia bahkan menyela bagian
yang ditulis Stern. Karena katanya, Stern menuliskan kebohongan, dan pemuda itu
seharusnya segera bertobat.
Bagian yang dituliskan Stern adalah cerita-cerita tentang Max
Havelaar. Pemuda ini rupanya tak menuruti perintah Droogstoppel untuk setia
pada judul Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda. Ia malah menuliskan
kisah (agak roman), yang bahan-bahannya ia peroleh dari arsip-arsip Sjaalman.
Kisah tentang Max Havelaar sejak pertama kali tiba di Lebak, juga ketika Max
Havelaar menghadapi persoalan-persoalan pelik yang bertentangan dengan
panggilan jiwanya.
Setelah membaca ini, saya baru tahu bahwa rupanya, pada tahun 1850an,
di Hindia Belanda terdapat dua jenis pemerintahan; Pemerintahan Belanda
(Residen, Asisten Residen, Kontelir) dan Pemerintahan Bumiputera (Bupati,
Patih, Demang, Jaksa, dll). Hubungan antara kedua penguasa inilah yang kemudian
dirasakan demikian ironis oleh Max Havelaar.
Masyarakat Jawa yang ramah dan pemurah, dimanfaatkan untuk bekerja
secara sukarela tanpa diberi upah yang layak oleh petinggi-petinggi, termasuk
demang, termasuk bupati. Masyarakat berbondong-bondong mengerjakan sawah yang
bukan miliknya sendiri, membajak, menanam, memanen, namun tetap kelaparan
karena hasil panen harus diserahkan pada pemerintah. Tak sedikit dari mereka
yang harta bendanya dirampas, bahkan kerbau-kerbaunya, bahkan anak gadisnya.
Inilah yang dilihat oleh Max Havelaar, yang membuat nuraninya terusik, yang
membuatnya geram.
Ia ingin menegakkan keadilan tapi tak ada yang mendukungnya. Orang-orang
datang melapor ke rumahnya di malam hari, tapi tak pernah hadir kembali esoknya
jika diminta menjadi saksi. Masyarakat yang tertindas ini ketakutan. Pada
akhirnya Max Havelaar mengambil keputusan untuk melaporkan penyimpangan yang
terjadi pada Gubernur Jendral, dan memberanikan diri untuk mempertanggung
jawabkannya sendiri. Sayangnya, yang terjadi malah ia diminta menarik kembali
laporannya. Havelaar tetap bersikeras, ujung-ujungnya, ia malah dicap tidak
becus menjabat.
Hah. Bahkan Max Havelaar yang sebetulnya waktu itu berkewarganegaraan ‘penjajah’
saja bisa sebegini terusik dan sangat berani membela masyarakat Hindia.
Sejak tokoh ini pertama kali muncul, saya sudah mengagumi cara Stern
(atau Multatuli) menggambarkan sifat-sifat Max Havelaar dan istrinya. Bahwa
Havelaar, katanya, adalah orang; “yang selalu pertama kali merasakan luka yang
ditikamkan oleh kata-katanya yang tajam, dan ia menderita lebih-lebih dari
orang yang dilukainya”.
Penggambaran Nyonya Havelaar lebih mengagumkan lagi; “Nyonya Havelaar
tidaklah cantik, tapi dalam pandangan dan bicaranya ada sesuatu yang manis
sekali.” Lalu di beberapa kalimat selanjutnya dijelaskan kembali; “Saya
katakan, bahwa ia tidak cantik, namun saya tidak mau anda mengira ia jelek.
Sudah sering dikatakan, bahwa wajah seseorang adalah cermin jiwanya, sehingga
orang tidak lagi menghargai potret wajah yang diam, yang tidak mencerminkan
sesuatu, karena tidak terpantul jiwa daripadanya. Nah, dia memiliki jiwa yang
cantik, dan butalah orang yang tidak juga menganggap wajahnya cantik, jika
jiwanya terbayang di dalamnya.”
Saya jarang menyebutkan akhir cerita sebuah buku. Tapi di tulisan ini
sepertinya sudah saya sebutkan. Bahkan mungkin lebih dari sekali. Atau biarkan
saya menuliskannya secara rinci. Bahwa di lima halaman sebelum terakhir,
Multatuli kemudian mengambil alih pena dan menghentikan Stern yang sedang
bercerita. Inilah cuplikan kemunculan Multatuli;
***
Havelaar mengembara kian kemari, miskin dan
sepi. Ia mencari ...
Cukuplah, Stern yang baik. Aku, Multatuli,
mengangkat pena. Anda tidak terpanggil menuliskan sejarah hidup Havelaar. Aku
menghidupkan anda. Aku datangkan anda dari Hamburg, aku ajarkan anda bahasa
Belanda yang baik, dalam waktu yang singkat sekali. Aku suruh anda mencium
Louise Rosemeijer, yang ayahnya berdagang pula. Cukuplah, Stern, anda boleh
pulang.
Si Sjaalman itu dan isterinya ...
Stop, hasil celaka nafsu mata duitan yang kotor
dan kemunafikan yang menghujah Tuhan! Akulah yang menciptakan anda, anda
membesar menjadi makhluk yang dahsyat di bawah penaku, aku jijik dengan
bikinanku sendiri, terbenamlah dalam kopi, dan pergilah!
***
Dan Multatuli melanjutkan bukunya sampai halaman terakhir. Di halaman
paling belakang, ada bait-bait Liat Lah Badjing, sebuah puisi tentang Saidjah
dan Adinda.
Yang menyebalkan ketika saya sudah selesai dan masih saja penasaran
ingin membuka-buka halaman awal, adalah ketika saya baru tertarik untuk membaca
bab Pendahuluan. Pada bab yang dibuat oleh Drs. G. Termorshuizen itulah saya
baru membaca, bahwasanya, Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker.
Diceritakan pula bagaimana perjalanan hidup Dekker. Bahwa ia berangkat ke Jawa
ketika usianya 18 tahun, bahwa ia pernah menjadi kontelir di Natal, menikah
dengan Everdine Huberte van Wijnbergen, dan pada tahun 1856 ia menjadi asisten
residen di Lebak!
Sekarang sudah tahun 2014. Hindia Belanda sudah laaama sekali berganti
nama jadi Indonesia. Alangkah anunya saya karena baru membaca Multatuli.
Baru mengetahui bahwa Max Havelaar, bahwa Si Sjaalman yang keren ini bukan
sekadar tokoh karangan Stern atau Droogstoppel semata. Ia ada; Multatuli-lah
orangnya.[]
NB: Fiuh. Pandjangnjaaaaa! :D
NB 2: Tapi salbut. Besok belajar lagi, ya!
0 komentar:
Posting Komentar