Catatan tentang Surat Panjang tentang
Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya, Dewi Kharisma Michellia
Sama
sekali tidak ada dialog antar tokoh pada novel Surat Panjang tentang Jarak
Kita yang Jutaan Tahun Cahaya. Tokoh aku bahkan selalu menjadi aku,
tuan pemilik toko selalu menjadi tuan pemilik toko, tuan alien selalu
menjadi tuan alien, dan semua tokoh lain yang juga selalu diberi sebutan
semacam; gadismu, gadis berliontin naga, anak tuan pemilik toko, Nyonya
Pemred, atau kekasihku. Mereka tak pernah diperkenalkan siapa
namanya, sampai akhir cerita.
Surat
panjang di novel ini ditulis oleh tokoh perempuan 41 tahun, sebagai balasan
untuk surat yang dikirimkan oleh sahabat lamanya. Sahabat lama yang sejak kelas
3 SD selalu jadi teman satu-satunya yang dimiliki oleh Si Perempuan. Sahabat
lama yang pernah saling mengaitkan jari dan mengikrarkan padanya bahwa mereka
kelak akan menikah, bahwa merekalah pasangan alien sejati. Si Perempuan
menyebutnya Tuan Alien. Pada surat yang dikirimkan setelah bertahun-tahun tak
saling bertukar kabar itu, Tuan Alien menyertakan bingkisan berisi kebaya
murah, dan undangan pernikahan.
Apa mungkin kau menikahi gadis itu karena kau menemukan perbedaan yang menyerasi semacam itu di antara kalian; dan kau tak menemukannya dalam diriku? (hal. 16)
Si
Perempuan tak pernah yakin apakah surat-suratnya sebaiknya ia kirimkan, apakah
sebaiknya Tuan Alien membacanya, apakah sebaiknya laki-laki itu mengetahui isi
hatinya meski ia sudah akan punya istri. Tapi ia terus menulis. Bahkan setelah
pernikahan dilangsungkan. Bahkan ketika Tuan Alien berbulan madu. Bahkan ketika
kemudian Si Perempuan mendapatkan seorang kekasih yang suatu hari nanti
memboncengnya naik vespa untuk berlibur ke Yogyakarta.
Surat-surat
yang tak pernah dikirimkan (yang mungkin sekarang sudah dikirimkan entah oleh
siapa—dan entah terbaca atau tidak) ini berjumlah 37. Si Perempuan menuliskan
banyak hal. Cerita detail tentang masa lalu, tentang Ayah dan Ibu, tentang
kuliah, pekerjaan, Kakek dan Nenek, teman yang menghilang, dan lain-lain,
termasuk juga tentang cinta yang kandas. Sebagian besar adalah cerita tentang
dirinya sendiri, yang mirip diari. Barangkali untuk alasan itulah di surat ke
32, Si Perempuan (Atau Dewi Kharisma Michellia, penulis novel ini? Atau
ditambahkan atas saran editor?) kemudian menyisipkan dengan tanda kurung;
Sejujurnya selama ini aku merasa menulis sampah untuk diriku sendiri. Setelah menulis sekian banyak, aku tiba-tiba menyadari, surat-suratku ini lebih banyak bercerita tentangku, ketimbang bernostalgia tentangmu.
Hanya dua
(atau tiga atau empat atau entah berapa) yang isinya berkepentingan langsung
dengan Tuan Alien. Bahkan momen spesial antara Si Perempuan dengan Tuan Alien
tak banyak diceritakan secara detail. Beberapa hanya diceritakan sekilas, dan
ini membuat kedekatan Tuan Alien dan Si Perempuan seperti tak terlalu punya
arti. Meski demikian kisah hidup Si Perempuan memanglah menarik untuk disimak.
Lepas dari tak terlalu sinkronnya isi surat dengan judul yang membawa-bawa
kalimat ‘tentang kita’. Karena memang tak kesemuanya bercerita tentang ‘kita’.
Selebihnya,
novel ini menarik. Si Perempuan digambarkan dengan karakter melankolis-koleris,
yang tak disukai sekitar (bahkan oleh ibunya sendiri), dan tak suka banyak
bergaul. Ia tak banyak mengeluh dan tak banyak marah, barangkali ini juga efek
karena ia mengambil kuliah psikologi? Pada bagian awal ia tergambarkan sebagai
perempuan antisosial yang tertutup, atau mungkin ia memang begitu. Menariknya,
meski sifatnya demikian ia bisa disayangi oleh tuan pemilik toko, dicintai
kekasihnya, dan segelintir orang pasti pernah menyayanginya dengan sangat namun
karena ia yang menulis sendiri suratnya, barangkali ia tak merasa. Tidakkah
barangkali Tuan Alien sebetulnya juga pernah punya perasaan yang sama? Apapun,
yang Si Perempuan mengerti adalah bahwa dirinya selalu mencintai Tuan Alien
sampai akhir.[]
Tidakkah hidup itu aneh? Ada manusia yang berhak mengetahui hal-hal yang manusia lain tak tahu. Ada manusia yang seumur hidupnya bahagia; atau seumur hidupnya sengsara. (hal. 198)
Waktu mengubah pemahaman seseorang akan dunia. Waktu tak mengubah pemahamanku tentangmu. (hal. 209)
Untuk itukah kembang api diledakkan?—untuk menyemarakkan langit yang muram? (hal. 218)
0 komentar:
Posting Komentar