Minggu, 09 Maret 2014

Kara

Review novel "Memilikimu"
Penulis : Sanie B Kuncoro
Penerbit : GagasMedia


Ini cerita tentang suami yang sangat ingin menjadi ayah.

Untuk beberapa orang, arti dari menikah adalah juga mempersiapkan diri untuk punya anak. Membesarkan, memberi makan, menimang, menyekolahkan, bernaung bersama-sama dalam keluarga yang ramah dan hangat. Tapi nyatanya tak semua pasangan bisa dikaruniai anak. Kenyataan pedih inilah yang menimpa pasangan Anom dan Samara.

Anom adalah lelaki penyabar yang mencintai Samara benar-benar. Ketika mendapat vonis dokter bahwa Samara tak bisa punya anak, pasangan ini sama-sama terluka. Tapi dengan penuh keteduhan Anom menggenggam tangan istrinya sambil berkata;

“Kalau ada bagian dari sumpahku yang mengatakan bahwa aku akan mendampingimu dalam segala duka dan bahagia, bahwa aku menjadi bagian dari segenap sakit dan sehatmu. Maka, kuucapkan sepenuh ketulusan yang kupunya.”

Bertahun-tahun kemudian, Anom baru menyadari bahwa keinginannya untuk punya anak sebetulnya tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berpura-pura lupa, seolah segalanya telah berhasil dikuburnya dalam-dalam, padahal sebetulnya tidak. Ia selalu tersiksa pada bayang-bayang yang muncul tentang tawa anak-anak, tentang bagaimana seandainya ia bisa mendekap dan menimang tubuh kecil yang adalah darah dagingnya.

Ketika sesuatu yang diinginkan mustahil diwujudkan, sedemikian susahkah meredam angan-angan?

Barangkali iya. Karena Anom, sang suami bijaksana yang pengasih dan penyayang ini kemudian memikirkan sebuah rencana. Ia memutuskan akan ‘menyewa’ rahim perempuan lain untuk mengandung anaknya. Setelah perempuan itu melahirkan, anaknya akan diletakkan di depan rumah Anom supaya nanti ditemukan oleh Samara. Ketika itulah ia dan Samara akan merawat bayi itu dan membesarkannya bersama-sama.

Saya pernah membaca cerita soal ‘menyewa’ rahim yang mirip dengan ini di buku lain, bahkan film india juga ada cerita yang hampir sama, ah, di sinetron lokal juga pernah ada. Hanya saja bedanya, di cerita lain itu, sang istrilah yang mencarikan perempuan lain sementara suaminya bersikeras untuk setia.

Novel ini punya alur yang lambat. Semua peristiwa dibiarkan mengalir secara tenang, aman, dan tergambar sederhana. Hampir tidak ada yang menegangkan. Jarang sekali terjadi perdebatan antar tokoh. Bahkan perdebatan tokoh dengan dirinya sendiri pun hampir-hampir tak pernah terjadi. Ketika Lembayung diberi tawaran untuk jadi perempuan yang ‘disewa’ Anom, misalnya, ia hanya perlu berpikir satu malam. Mempertimbangkan hal-hal kecil, sebelum kemudian mengirimkan pesan persetujuan; ‘ya, aku mau’.

Di bagian itu saya mengernyit. Dan tak bisa memberi komentar lain kecuali; “Oh men. TitikDua AngkaTiga. TitikDua AngkaTiga. TitikDua AngkaTiga.”

Jika disajikan dalam gaya bahasa yang lain, dalam cara bercerita yang lain, barangkali saya akan mencerca Anom habis-habisan. Tapi di buku ini, saya justru mengasihaninya. Saya memaklumi bagaimana rindunya pada seorang anak, memaklumi bagaimana ia sebetulnya tidak ingin melukai Samara. Meski sebetulnya agak tak masuk akal bahwa seorang Anom yang sangat setia ini bisa menjalani hari-hari biasa di depan Samara, padahal ia sedang menyembunyikan kebohongan besar.

Ngomong-ngomong, jika judul Memilikimu dibuat untuk menggambarkan perasaan terluka Samara terhadap Anom, maka saya katakan, isi buku ini bukanlah tentang itu. Ini tentang Anom dan Lembayung. Tentang egoisme berlapis kelembutan hati. Tentang angan-angan, yang kadang terlalu perkasa hingga tak kuasa dikendalikan.


Ah. Ini buku yang kelam. Membuat saya takut berangan-angan...[]


0 komentar:

Posting Komentar