Review novel "Memilikimu"
Penulis : Sanie B Kuncoro
Penerbit : GagasMedia
Ini cerita tentang suami yang sangat ingin menjadi ayah.
Untuk beberapa orang, arti dari menikah
adalah juga mempersiapkan diri untuk punya anak. Membesarkan, memberi makan,
menimang, menyekolahkan, bernaung bersama-sama dalam keluarga yang ramah dan
hangat. Tapi nyatanya tak semua pasangan bisa dikaruniai anak. Kenyataan pedih
inilah yang menimpa pasangan Anom dan Samara.
Anom adalah lelaki penyabar yang
mencintai Samara benar-benar. Ketika mendapat vonis dokter bahwa Samara tak
bisa punya anak, pasangan ini sama-sama terluka. Tapi dengan penuh keteduhan
Anom menggenggam tangan istrinya sambil berkata;
“Kalau ada bagian dari sumpahku yang
mengatakan bahwa aku akan mendampingimu dalam segala duka dan bahagia, bahwa
aku menjadi bagian dari segenap sakit dan sehatmu. Maka, kuucapkan sepenuh
ketulusan yang kupunya.”
Bertahun-tahun kemudian, Anom baru
menyadari bahwa keinginannya untuk punya anak sebetulnya tidak pernah
benar-benar hilang. Ia hanya berpura-pura lupa, seolah segalanya telah berhasil
dikuburnya dalam-dalam, padahal sebetulnya tidak. Ia selalu tersiksa pada
bayang-bayang yang muncul tentang tawa anak-anak, tentang bagaimana seandainya
ia bisa mendekap dan menimang tubuh kecil yang adalah darah dagingnya.
Ketika sesuatu yang diinginkan mustahil
diwujudkan, sedemikian susahkah meredam angan-angan?
Barangkali iya. Karena Anom, sang suami
bijaksana yang pengasih dan penyayang ini kemudian memikirkan sebuah rencana.
Ia memutuskan akan ‘menyewa’ rahim perempuan lain untuk mengandung anaknya.
Setelah perempuan itu melahirkan, anaknya akan diletakkan di depan rumah Anom
supaya nanti ditemukan oleh Samara. Ketika itulah ia dan Samara akan merawat
bayi itu dan membesarkannya bersama-sama.
Saya pernah membaca cerita soal ‘menyewa’
rahim yang mirip dengan ini di buku lain, bahkan film india juga ada cerita
yang hampir sama, ah, di sinetron lokal juga pernah ada. Hanya saja bedanya, di
cerita lain itu, sang istrilah yang mencarikan perempuan lain sementara
suaminya bersikeras untuk setia.
Novel ini punya alur yang lambat. Semua
peristiwa dibiarkan mengalir secara tenang, aman, dan tergambar sederhana.
Hampir tidak ada yang menegangkan. Jarang sekali terjadi perdebatan antar
tokoh. Bahkan perdebatan tokoh dengan dirinya sendiri pun hampir-hampir tak
pernah terjadi. Ketika Lembayung diberi tawaran untuk jadi perempuan yang
‘disewa’ Anom, misalnya, ia hanya perlu berpikir satu malam. Mempertimbangkan
hal-hal kecil, sebelum kemudian mengirimkan pesan persetujuan; ‘ya, aku mau’.
Di bagian itu saya mengernyit. Dan tak
bisa memberi komentar lain kecuali; “Oh men. TitikDua AngkaTiga. TitikDua
AngkaTiga. TitikDua AngkaTiga.”
Jika disajikan dalam gaya bahasa yang
lain, dalam cara bercerita yang lain, barangkali saya akan mencerca Anom
habis-habisan. Tapi di buku ini, saya justru mengasihaninya. Saya memaklumi
bagaimana rindunya pada seorang anak, memaklumi bagaimana ia sebetulnya tidak
ingin melukai Samara. Meski sebetulnya agak tak masuk akal bahwa seorang Anom
yang sangat setia ini bisa menjalani hari-hari biasa di depan Samara, padahal
ia sedang menyembunyikan kebohongan besar.
Ngomong-ngomong, jika judul Memilikimu
dibuat untuk menggambarkan perasaan terluka Samara terhadap Anom, maka saya
katakan, isi buku ini bukanlah tentang itu. Ini tentang Anom dan Lembayung.
Tentang egoisme berlapis kelembutan hati. Tentang angan-angan, yang kadang
terlalu perkasa hingga tak kuasa dikendalikan.
Ah. Ini buku yang kelam. Membuat saya
takut berangan-angan...[]
0 komentar:
Posting Komentar